Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Problematika Ketenagakerjaan - Download Makalah Gratis File Docx

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Permasalahan ketenagakerjaan dan pengangguran setiap tahunnya semakin kompleks. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, yaitu mulai dari peningkatan lapangan pekerjaan sampai pada perlindungan tenaga kerja, namun buktinya tetap saja sampai saat ini masalah ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia tak kunjung usai dan tak teratasi dengan baik. Peliknya masalah ketenagakerjaan di Indonesia membuat setiap tahunnya, ribuan bahkan jutaan masyarakat bersaing untuk dapat ambil bagian dalam bursa tenaga kerja. Hal tersebut terjadi dikarenakan sedikitnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang mampu diberikan oleh pemerintah itu sendiri.

***
Download Makalah Problematika Ketenagakerjaan
***

Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 Bab III pasal 5 tentang Kesempatan dan Perlakuan yang Sama, dikatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Melihat pernyataan tersebut, sudah pasti dan sudah seharusnya dalam pengrekrutan pegawai baru nantinya tidak akan ada diskriminasi terhadap kelas atau golongan sosial tertentu. Namun, pada kenyataannya hal tersebut sepertinya hanya sebuah wacana yang tidak ada relevansinya terhadap fakta yang ada dilapangan. Fakta dilapangan berkata lain dan sangat bertolak belakang dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 Bab III pasal 5, karena pada tataran kenyataannya praktik-praktik diskriminasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dalam mencari pegawainya masih kerap terlihat. Mulai dari pungutan yang ditarik oleh perusahaan kepada calon pegawai, kemudian praktek kolusi yang dilakukan pihak perusahaan dengan memandang calon pegawai atas dasar golongannya, hingga sampai pada tataran yang berbau fisik dan sara untuk mengklasifikasi para calon pegawai baru.

Simbolon, Direktur Persyaratan Kerja, Kesejahteraan, dan Analisis Diskriminasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans RI pun mengakui benar bahwa adanya praktek diskriminasi di lingkungan kerja pada berbagai perusahaan yang berada di Indonesia hingga saat ini masih cukup banyak. Maraknya praktik diskriminasi ketenagakerjaan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan pun akhirnya berimbas pula kepada bertambahnya prosentase pengangguran, terutama pengangguran terdidik di Indonesia.

Multidimensinya masalah ketenagakerjaan membuat masalah ini sukar untuk diselesaikan secara keseluruhan dengan bersamaan. Problematika ketenagakerjaan yang memang berkaitan dengan banyak masalah, seperti masalah pengangguran (pengangguran terdidik dan pengangguran tidak terdidik), kesediaan lapangan pekerjaan, dan soal diskriminasi calon pegawai yang hendak bekerja membuat masalah ketenagakerjaan sangat menarik untuk dibahas. Dengan demikian, setelah melihat permasalahan tentang ketenagakerjaan di atas, munculah beberapa pertanyaan yang menarik untuk diperdebatkan dan dijawab secara baik. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dirumuskan dalam rumusan masalah.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Apa saja teori ketenagakerjaan?
2.    Bagaimanakah fakta di lapangan tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini dengan relevansinya terhadap UU Ketenagakerjaan?
3.    Mengapa masalah ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia belum bisa diatasi hingga saat ini?

1.3 Tujuan Makalah
1.    Untuk mengetahui Apa saja teori ketenagakerjaan
2.    Untuk mengetahui Bagaimanakah fakta di lapangan tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini dengan relevansinya terhadap UU Ketenagakerjaan
3.    Untuk mengetahui Mengapa masalah ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia belum bisa diatasi hingga saat ini




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Ketenagakerjaan
Tenaga kerja dalam UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 berarti adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam sebuah kependudukan, penduduk dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk yang tergolong kedalam tenaga kerja, yaitu penduduk yang telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Jadi menurut pengertian tersebut, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja.

Terkait dengan masalah ketenagakerjaan, maka sebelum masuk kedalam pembahasan yang lebih dalam, alangkah baiknya terlebih dahulu kita melihat beberapa teori yang menyangkut tentang masalah ketenagakerjaan itu sendiri. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa teori ketenagakerjaan secara singkat, adapun teorinya sebagai berikut:
1. Teori Klasik Adam Smith
Adam smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.

2. Teori Malthus
Sesudah Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Thomas Robert Malthus mengungkapkan bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat dibandingkan dengan produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur, sedangkan produksi makanan hanya meningkat sesuai dengan deret hitung.

Malthus juga berpendapat bahwa jumlah penduduk yang tinggi pasti mengakibatkan turunnya produksi perkepala dan satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut adalah melakukan kontrol atau pengawasan pertumbuhan penduduk. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan oleh malthus adalah dengan menunda usia perkawinan dan mengurangi jumlah anak.
Jika hal tersebut tidak dilakukan maka pengurangan penduduk akan diselesaikan secara alamiah antara lain akan timbul perang, epidemi, kekurangan pangan dan sebagainya.

3. Teori Keynes
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun para pekerja mempunyai semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh dari penurunan tingkat upah.

Kalaupun tingkat upah diturunkan tetapi kemungkinan ini dinilai keynes kecil sekali, tingkat pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat akan mendorong turunya harga-harga.

Kalau harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal labor ( marginal value of productivity of labor) yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam mempekerjakan labor akan turun. Jika penurunan harga tidak begitu besar maka kurva nilai produktivitas hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah tetap saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-harga turun drastis, ini menyebabkan kurva nilai produktivitas marjinal labor turun drastis pula, dan jumlah tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran menjadi semakin luas.

4. Teori Harrod-domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi tidak hanya menciptakan permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas produksi yang membesar membutuhkan permintaan yang lebih besar pula agar produksi tidak menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang besar, surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.

Setelah melihat ke empat teori ketenagakerjaan di atas, perlu diketahui juga bahwa dalam ketenagakerjaan terdapat juga tiga pendekatan pemberdayaan yang didasarkan pada pengukuran kegiatan ekonomi yang dijadikan tolok ukur untuk analisis ketenagakerjaan itu sendiri. Adapun sebagai berikut:
1. Konsep Gainful Worker Approach
Konsep ini menjelaskan tentang aktivitas ekonomi orang yang pernah bekerja atau biasa dilakukan seseorang (usual activity). Kata biasa dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa usaha tidak menganggap penting kegiatan-kegiatan lain yang tidak termasuk biasa dilakukan. Konsep ini menekankan pada kondisi kebiasaan yang pada prinsipnya hanya memperhatikan kegiatan ekonomi yang biasa dilakukan tanpa memperhatikan kegiatan lain yang sebenarnya sedang dilakukan baru-baru ini. Konsep ini menekankan pada kondisi kebiasaan yang dialami oleh penduduk.

2. Konsep Angkatan Kerja (Labor Force Approach)
Pendekatan ini memberikan batas yang jelas tentang kegiatan yang dilakukan selama jangka waktu tertentu, sehingga secara tegas dapat diketahui kegiatan apa yang benar-benar dilakukan sebagai kegiatan utamanya. Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan aktivitas kini dengan jangka waktu tertentu. Menurut Adioetomo (2010), terdapat dua perbaikan yang diusulkan dalam konsep ini yaitu :
·    Activity Concept, bahwa yang termasuk dalam angkatan kerja haruslah orang yang secara aktif bekerja atau sedang aktif mencari pekerjaan.
·    Aktifitas tersebut dilakukan dalam suatu batasan waktu tertentu sebelum wawancara. Dengan kata lain, konsep angkatan kerja umumnya disertai referensi waktu.

Berdasarkan konsep tersebut, angkatan kerja (labor force) dibagi menjadi dua, yaitu bekerja dan mencari pekerjaan (menganggur), yang dapat dibedakan antara mencari pekerjaan, tetapi sudah pernah bekerja sebelumnya dan mencari pekerjaan untuk pertama kalinya. Angkatan kerja dapat dikatakan sebagai bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif, yaitu memproduksi barang dan jasa dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam konsep angkatan kerja ini harus ada referensi waktu yang pasti, misalnya satuminggu sebelum pencacahan.

3. Konsep Pemanfaatan Tenaga Kerja ( Labor Utilization Approach)
Pendekatan ini awalnya dikembangkan oleh Philip M Hauser untuk memperbaiki konsep Labor Force. Pendekatan Labor Utilization dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan konsep angkatan kerja, terutama supaya lebih sesuai dengan keadaan negara berkembang. Pendekatan dalam konsep ini lebih ditujukan untuk melihat potensi tenaga kerja, apakah telah dimanfaatkan secara penuh. Dengan konsep ini, angkatan kerja dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
  • Pemanfaatan penuh (fully utilized ).
  • Pemanfaatan kurang (under-utilized), karena jumlah jam kerja yang rendah, pendapatan upah atau gaji yang rendah dan tidak sesuai dengan kemampuanatau keahliannya. Biasa disebut setengah penganggur. Untuk point a dan bdidasarkan pada jumlah jam kerja seminggu.
  • Pengangguran terbuka (open unemployment ).
Berdasarkan teori-teori diatas maka dapat diketahui tahapan perkembangan teori terkait ketenagakerjaan diawali dengan Gainful Worker Approach kemudian berkembang menjadi Labor Force Approach hingga dilakukan perbaikan lagi dengan Labor Utilization Approach. Masing-masing teori tersebut memiliki ciri tersendiri yang pada perkembangannya konsep ketenagakerjaan semakin baik walaupun seiring berkembangnya zaman akan terjadi penyempurnaan nantinya.

2.2 Fakta Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia Saat ini Dengan Relevansinya Terhadap UU Ketenagakerjaan
Menurut UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam batas usia kerja. Tenaga kerja disebut juga golongan produktif, yakni dari usia 15-64 tahun.  Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, selanjutnya dijelaskan dalam pasal 4 bahwa pemerintah mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berpendidikan rendah dengan keterampilan dan keahlian yang kurang memadai, sehingga belum mempunyai keterampilan dan pengalaman yang baik serta maksimal untuk memasuki dunia kerja. Dengan demikian kualitas tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah. Kualitas tenaga kerja yang rendah mengakibatkan kesempatan kerja semakin kecil dan terbatas. Karena mayoritas perusahaan-perusahaan atau lapangan kerja lainnya lebih memilih tenaga kerja yang berkualitas baik. Sehingga jarang tenaga kerja mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Keterampilan dan pendidikan yang terbatas akan membatasi ragam dan jumlah pekerjaan. Rendahnya tingkat pendidikan akan membuat tenaga kerja Indonesia minim akan penguasaan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun beberapa fakta lain mengenai ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu:
1.    Problem gaji atau UMR, rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya.
2.    Problem kesejahteraan hidup, dalam kenyataanya jumlah gaji yang relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dll) maka hal ini akan menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat makin rendah.
3.    Problem pemutusan hubungan kerja, menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Seharusnya peristiwa PHK baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar.
4.    Problem tunjangan sosial dan kesehatan, pada praktiknya sebenarnya karyawan sendirilah yang menyediakan iuran wajib untuk melaksanakan program ini. Dana yang dibutuhkan untuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan asuransi kematian, sebenarnya ditanggung oleh buruh itu sendiri dengan menabung wajib sekian persen dari gajinya setiap bulan untuk ditabung, lalu diolah dalam sistem ribawi agar berbunga terus untuk memenuhi kebutuhan seluruh jaminan tersebut.

Fakta dilapangan dengan ketidak relevansiannya UU ketenagakerjaan bukan cukup hanya disitu saja. Bisa dilihat pada Bab III pasal 5 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yaitu bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Namun pada kenyataannya dilapangan masih ada saja sebuah diskriminasi pegawai ataupun calon pegawai yang dilakukan oleh sebuah instansi ataupun perusahaan. Untuk buktinya, kami ambilkan contoh kasus, yang kami temui di www.kompasiana.com. Terdapat suatu hal yang menarik disana, karena dalam perekrutan calon pegawai baru yang diadakan oleh sebuah perusahaan terkesan seperti mendiskriminasikan. Adapun kutipannya yaitu “LOWONGAN KERJA. Dibutuhkan urgent 30 orang calon asisten training, kriteria: Laki-laki usia maksimal 28 tahun, belum berkeluarga, S1 Pertanian/ Kehutanan, D3 Perkebunan. Tinggi badan 165 cm, berat badan maksimal 60 kg. Badan sehat. Akan di training jadi asisten lapangan di Pekanbaru selama 6 bulan. Lulus langsung jadi asisten lapangan, gaji dan benefit, jenjang karir menarik. Tertarik hubungi Atong”. Melihat kutipan tersebut, menurut kami ada suatu hal yang bisa dibilang ganjil jika di relevansikan dengan Bab III pasal 5 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Ketidakcocokannya terlihat sangat jelas pada perekrutan yang mengklasifikasikan sebuah ukuran tinggi badan 165 cm yang dijadikan sebagi sebuah tolak ukur diterima dan tidak diterimanya seorang calon pegawai. Padahal yang dicari disitu adalah posisi asisten trainer yang seharusnya lebih mementingkan kualifikasi ke intelektual ketimbang fisik semata. Mungkin terkecuali jika di lembaga pemerintahan publik seperti kepolisian, tentara, dan IPDN yang diperlukan juga faktor fisik.

Melihat fenomena diatas, sangatlah jelas bahwa praktik diskriminasi dalam ketenagakerjaan di Indonesia masih sering berlangsung walaupun dalam Undang-Undangnya dikatakan bahwa tidak boleh ada diskriminasi dalam sebuah sistem ketenagakerjaan. Carut-marutnya dan ke abu-abuannya Undang-Undang tentang ketenagakerjaan yang ada di Indonesia dengan fakta dilapangan yang sebenarnya, nantinya sangat berpotensi untuk memicu munculnya banyak masalah tentang ketenagakerjaan. Contoh kecil saja kita ambil, yaitu sistem alih daya atau Outsourcing. Pangkal masalah ini sebenarnya ada pada buruh dan perusahaannya itu sendiri. Jika pihak dari perusahaan bisa mengerti tentang apa yang dibutuhkan oleh buruh, dan buruh juga dapat menunjukan kualitas kerjanya dengan baik, maka kami rasa demo-demo buruh tentang sistem Outsourcing tidak akan muncul. Kedua belah pihak itupun juga harus memahami betul tentang Undang-Undang ketenagakerjaan, sehingga tidak akan muncul masalah nantinya.

Sangat disayangkan sebenarnya masalah tentang ketidakrelevansinya Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan fakta praktik dilapangan yang jauh berbeda seharusnya tidak muncul, jika pihak-pihak yang terkait mau mematuhinya dengan baik, dan jika Undang-Undangnya pun dijelaskan secara jelas. Begitu juga seperti apa yang diungkapkan oleh Nonami yang kami kutip pada www.tempo.com, yaitu ”Menurut Nonami, Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, pangkal permasalahannya ada pada undang-undang. "Undang-undangnya kurang jelas," katanya, pada perbincangan dengan para pemimpin redaksi media, di Jakarta, Jumat, 9 November 2012 lalu. Hanya saja, ia enggan menjelaskan maksud pernyataannya lebih lanjut”. Pernyataan Nonami tersebut sebenarnya terkait masalah protesnya para buruh tentang sistem Outsourcing. Pemerintah yang tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap kedua belah pihak itulah yang membuat masalah Outsourcing ini tak kunjung usai.

 Kamis lalu 15 November 2012, seperti yang kami kutip pada www.tempo.com, “Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya yang masuk ke Kementerian Hukum dan HAM, menyatakan bahwa sistem alih daya dihapuskan terkecuali 5 pekerjaan yang disebutkan. Dalam aturan tersebut, kata Muhaimin, pekerjaan outsourcing dihapus kecuali untuk lima jenis pekerjaan yaitu jasa kebersihan, keamanan, transportasi, katering dan jasa migas pertambangan”. Terkait pernyataan Muhaimin tersebut, mungkin yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana nanti pada tataran implementasinya, apakah implementasinya sesuai dengan yang dicanangkan atau tidak, mungkin kita akan baru bisa melihat faktanya di beberapa bulan kemudian. Walaupun realisasinya tersebut baru akan bisa terlihat jelas dibeberapa bulan kemudian, tapi kami berharap pernyataan tersebut dapat dipertanggungjawabkan keadaanya.

2.3  Masalah Ketenagakerjaan dan Pengangguran di Indonesia yang Belum Bisa Diatasi Hingga Saat ini
Permasalahan tenaga kerja di Indonesia semakin berat. Bagaimana tidak berat, angka pengangguran saja sudah mencapai 38,3 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 8,1 juta yang menganggur total atau tidak bekerja sama sekali dan tidak memiliki penghasilan. Sementara yang 30,2 juta, itu setengah menganggur, atau mereka yang bekerja di bawah 35 jam. Bahkan, bila ada buruh yang dibayar UMR, meski bekerja selama 40 jam, tak cukup untuk memenuhi standar hidupnya.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.

Masalah pengangguran sebenarnya merupakan masalah klasik yang rumit di setiap negara, bahkan dalam kajian ilmu ekonomi, masalah ini masuk dalam kajian ekonomi murni atau ekonomi makro yang menjadi tugas negara untuk menyelesaikannya. Di satu sisi, masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan angkatan kerja yang baru saja masuk pada usia angkatan kerja. Sehingga pengangguran selalu tidak bisa lepas dari problematika kepemudaan, atau bisa disebut juga dengan maraknya pengangguran terdidik yang tercipta didalam masyarakat.

Perlu diketahui, bahwa dalam ketenagakerjaan di Indonesia terdapat 5 masalah yang sangat krusial, adapun 5 permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia tersebut, yaitu:
  • Pertumbuhan penduduk semakin besar dengan persebaran penduduk yang tidak merata berpengaruh terhadap terbatasnya kesempatan kerja.
  • Rendahnya kualitas angkatan kerja, hal ini berdampak kepada daya saing dan kompetensi dalam memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah juga di latarbelakangi oleh faktor kondisi internal tenaga kerja, seperti motivasi kerja, pengalaman kerja, keahlian/keterampilan, tingkat kehadiran, inisiatif dan kreativitas, kesehatan serta perilaku/sikap. Sedangkan untuk faktor eksternal, meliputi: kedisiplinan kerja, tingkat kerjasama, perasaan aman dan nyaman dalam bekerja, teknologi yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan dan bidang pekerjaan sesuai dengan bidang yang diminati. Motivasi bekerja yang kurang atau yang menunjukkan sifat kemalasan tenaga kerja akan membuat pekerjaannya tidak membuahkan hasil yang baik dan maksimal. Keterampilan tenaga kerja pun sangat mempengaruhi kualitas kerjanya. Sehingga kualitas tenaga kerja Indonesia dan hasil produksinya kurang maksimal.
  • Besarnya angka pengangguran, pada Februari 2012, angkatan kerja Indonesia berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu, pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
  • Globalisasi arus barang dan jasa, permasalahan ini sangat terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Sebagai contoh dalam sistem perdagangan bebas baik dalam kerangka WTO, APEC, dan AFTA mempengaruhi perpindahan manusia untuk bekerja dari suatu negara ke negara lain yang telah menjadi salah satu modalitas perdagangan jasa yang harus ditaati oleh setiap anggota.
  • Terbatasnya fasilitas infrastruktur, mengakibatkan produksi barang semakin rendah. Jika fasiltas infrastruktur atau alat yang hendak dipergunakan terbatas, tenaga kerja terpaksa memilih membuatnya  dengan olahan tangan sendiri. Hal tersebut belum tentu beroleh hasil yang bermutu tinggi, sehingga daya saing barang produksi tersebut kalah banding dengan barang produksi negara lain. Hal itulah yang menyebabkan kualitas tenaga kerja Indonesia semakin rendah. 

Selain permasalahan tersebut, faktor lain yang menyebabkan seseorang tidak mendapat pekerjaan adalah :
1.    Kurangnya informasi dapat menjadi faktor yang paling berpengaruh, hal ini diakibatkan keadaan lingkungan tempat tinggal yang tidak memungkinkan untuk terus mengupdate informasi tentang lowongan pekerjaan.
2.    Tidak adanya sistem penerimaan publik, dimana sekarang banyak perusahaan yang mengutamakan standar Univesiti daripada standar keahlian masing-masing pelamar kerja.
3.    Sulit menerapkan kepintarannya dalam dunia pekerjaan, ini disebakan pengalaman seorang tenaga kerja yang masih belum terasah, maka diperlukan sistem perkuliahan yang bisa mendukung keahlian seseorang dan dapat langsung diterapkan didunia kerja.
4.    Rendahnya tingkat penguasaan tekhnologi, sebagian besar tenaga kerja tidak memiliki keahlian dan keterampilan khusus.  Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia akan membuat tenaga kerja tidak mampu dalam menguasai ilmu teknologi, dapat disebut juga tenaga kerja gagap teknolgi (Gaptek). Pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi pasti akan sulit di mengerti oleh tenaga kerjanya. Sehingga hasil kerjanya pun otomatis akan berkualitas rendah dan akhirnya daya saingnya rendah pula.
5.    Kemampuan bekerja keras yang rendah, apabila tenaga kerja tidak mampu bekerja keras maka hasilnya pun akan kurang baik atau kurang berkualitas. Kemampuan kerja keras tenaga kerja dapat ditinjau dari kesehatan maupun kondisi fisiknya. Semakin sehat keadaan tenaga kerja, maka hasil kerja akan semakin bagus dan berkualitas, dan sebaliknya.
6.    Factor usia, tenaga kerja Indonesia yang usianya lebih dari usia produktif (manula) biasanya kemampuan bekerjanya kurang, karena tenaga kerja tersebut belum tentu bermental bagus. Sehingga dapat menghasilkan kualitas kerja yang rendah.





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan Saran
Kondisi ketenagakerjaan di indonesia amatlah kurang dari harapan. Angka pengangguran masih sangat tinggi, kualitas pekerja yang kurang memadai dan berbagai factor lain yang turut memburuk kondisi tenaga kerja di Indonesia. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan ketenagakerjaan Indonesia belumlah cukup untuk mengentaskan para pekerja dari kemiskinan dan juga menuntaskan masalah pengangguran terutama para pengangguran terdidik. Ketidakrelevansi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan fakta yang ada dilapangan juga membuat tambah kisruhnya masalah ketenagakerjaan, apalagi soal diskriminasi dan sistem alih daya atau Outsourcing.

Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya. Pemerintah yang bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun, sehingga buruh bisa hidup layak. Pemerintah harus segera merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang baik akan mengurangi kriminalitas sosial. Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor, sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak resmi” dalam proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesia sehingga menyulitkan dalam menyalurkan tenaga kerja.




DAFTAR PUSTAKA

Benggolo, Arie. 1973. Tenaga Kerja dan Pembangunan (Pembahasan Mengenai Masalah Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja di Indonesia). Jakarta.

Suroto. 1983. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Tenaga kerja. Gajah Mada University: Yogya.

Anna Matic Only. 2011. Hubungan Jumlah Penduduk,Tenaga Kerja,Dan Kesempatan Kerja. http://gabrielakristiana.blogspot.com/, Diakses pada: Jumat, 10 Agustus 2018

http://www.scribd.com/doc/81165451/Faktor-Penyebab-Pengangguran

Mariah. 2010. Mengatasi Permasalahan Ketenagakerjaan. http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/06/03/mengatasi-permasalahan-ketenagakerjaan/, Diakses pada: Jumat, 10 Agustus 2018

http://www.scribd.com/doc/53228149/Paper-1-Teori-Ketenagakerjaan, diakses 29 November 2012.

Natalia Dana Debby, dkk. 2012. Makalah Problematika Ketenagakerjaan dan Masalah Pengangguran di Indonesia. Universitaas Jendral Soedirman. Purwokerto

Istavita Utama. 2018. Makalah Problematika Ketenagakerjaan. http://underpapers.blogspot.com. Diakses pada: Jumat, 10 Agustus 2018

Anisa. 2015. Makalah Problematika Ketenagakerjaan dan Masalah Pengangguran di Indonesia. http://4shared.com. Diaakses pada: Jumat, 10 Agustus 2018


Download Makalah Problematika Ketenagakerjaan