Makalah Pengertian Korupsi dan Penyebabnya Terjadinya - Download Makalah Ekonomi Gratis File Docx
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi bisa disebut juga pencurian uang yang
terselubung. yang biasanya dapat disembunyikan dengan rapi karena adanya kerja
sama dengan pihak pengelola keuangan atau karena yang meakukan korupsi tersebut
adalah seseorang yang memiliki kekuasaan tinggi di organisasi tersebut sehingga
dapat . Yang kita tahu selama ini korupsi diakukan oleh petinggi petinggi
negara yang sudah lama menjalankan kegiatan korupssi ini namun baru bisa
diketahui beberapa tahun kemudian.
Jika dipikir kembali, petinggi negara pasti seseorang
yang memiliki harta yang melimpah. karena seperti yang kita tahu, untuk
mencalonkan sebagai pejabat negara membutuhkan biaya ratusan juta bahkan
miliyaran. Tidak mungkin ada orang bodoh yang menghabiskan seluruh uangnya
untuk pertaruhan menang atau kalah dalam pertarungan politik. Mereka pasti
sudah mempertimbangkan berapa biaya pencalonan dan uang masih tersimpan
direkeningnya. yang intinya pejabat pasti berasal dari rang yang kaya tau
berada. Ditambah lagi gaji dari pemerintah yang tinggi. lalu untuk apa mereka
masih melakukan korupsi? mereka ingin sampai sekaya apa?
Banyak pertanyaan pertanyaan sederhana sepeerti diatas
yang diajukan oleh masyrakat menengah kebawah tentang tindakan korupsi oleh
para petinggi negara. Maka dari itu disini kami memilih judul "Pengertian
Korupsi dan penyebabnya terjadinya", untuk memberikan penjelasan umum
tentang penyebab terjadinya tindakan korupsi.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian korupsi
2. Apa penyebab terjadinya tindakan Korupsi?
3. Bagaimana dampak Tindakan Korupsi?
4. Apa tindak pidana bagi tersangka korupsi?
1.2 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya tindakan
Korupsi?
3. Untk mengetahui dampak Tindakan Korupsi?
4. Untk mengetahui tindak pidana bagi tersangka
korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan
semuanya, adalah:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- penggelapan dalam jabatan,
- pemerasan dalam jabatan,
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara), dan
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis
adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi
bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi
sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada
perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan
partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di
tempat lain.
2.2 Penyebab Terjadinya Korupsi
- Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak
bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih
besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan
jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri
dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di
kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang
menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang
dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono
juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang
bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain.
Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan,
orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya
gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam
arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J
Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three
decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di
Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk
sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk
makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa
para pegawai mencari tambahan dan banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan
meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku
"Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
2.3 Dampak negatif
A. Demokrasi
A. Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses
formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat.
Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari
pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat
diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan,
korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
B. Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private,
korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam
sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat
yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu
faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di
Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan
perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya
diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada
diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan
diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,
melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan
dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah
US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.
(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah
dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk
menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi
pada masa depan.
C. Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan
ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan
pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu
contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan
kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu
mereka.
2.4 Hukum Pidana Tersangka Korupsi
Pengaturan tindak pidana korupsi diatur dalam UU No.20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, mekanisme
pembuktian kesalahanya berbeda dengan tindak pidana umum yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana umum,
pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pada tindak pidana
korupsi, Pembuktian dilakukan sendiri oleh terdakwa korupsi tersebut.
Mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
oleh UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU
Tipikor) yang memuat delik mengenai adanya sistem pembuktian (Reversing The
Burden Of Proof) terbalik yaitu, sistem dimana beban pembuktian berada pada
terdakwa dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Sistem pembuktian ini
bersifat terbatas atau berimbang.
Yaitu para terdakwa harus mampu membuktikan sendiri
bahwa perbuatannya ataupun hartanya bukan bagian maupun hasil dari tindak
pidana korupsi ( Pasal 37 ayat 1 UU Tipikor ) dan penuntut umum tetap berkewajiban
membuktikan dakwaanya ( Pasal 37A ayat 3 UU Tipikor ).
Didalam UU No. 20 Tahun 2001 juncto UU No. 31 Tahun
1999, perbuatan korupsi diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat empat tahun dan paling lama duapuluh tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar. Mengenai penerapan
pidana mati terhadap terdakwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
Didalam penjatuhan pemidanaan oleh hakim ada beberapa
teori yang digunakan atas dasar pembenaran dari pemidanaan dalam keputusan
hukum pidana. Yaitu Pertama, teori retributif atau teori pembalasan. Teori ini
menitik beratkan penjatuhan pidana haruslah sesuai dan setimpal dengan
perbuatan tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan memberikan penderitaan
yang setimpal.
Kedua, teori utilitarian atau teori tujuan. Teori ini
memiliki pandangan bahwa penjatuhan pidana tidak hanya melihat sebagai
pembalasan melainkan harus melihat ke masa yang akan datang. Oleh karena itu,
penjatuhan pidana menurut teori ini bukanlah ‘’ quia peccatum est ’’ ( karna
orang membuat kejahatan ) melainkan ‘’ ne peccatur ‘’( supaya orang jangan
melakukan kejahatan ).
Ketiga,teori integratif atau teori gabungan. Teori ini
meninjau dari segala perspektif yakni tujuan utama dari pemidanaan pengenaan
penderitaan yang setimpal dan pencegahan kejahatan. Teori ini menggunakan
terminologi ‘’Retributivisme Teleologis’’. Karana pada dasarnya pemidanaan itu
bersifat plural menghubungkan prinsip teologis.
Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya
hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru pertama-tama merumuskan tentang tujuan
pemidanaan berupa pencegahan, pembinaan penyelesaian konflik dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana serta mencegah Recidivis dengan
tidak menderitakan pidana sebagai upaya merendahkan martabat manusia melainkan
memperbaiki atau rehabilitasi (Pasal 50 RKUHP).
Penjatuhan pidana bagi perkara korupsi yang diakomodir
dalam RKUHP dalam BAB XXXI menganai tindak pidana jabatan (Pasal 661 – Pasal
687 ) dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan
denda paling banyak kategori V( Pasal 80 ayat 3 huruf e ,dengan denda sebesar
Rp. 1.200.000.000,00)
Sedangkan pada BAB XXXII mengenai tindak pidana korupsi
( Pasal 668 – Pasal 701 ) cukup bervariatif mulai dari pidana penjara paling
singkat satu tahun, lima tahun, tujuh tahun, sembilan tahun, dan paling
lam 15 tahun serta pemberatan pidana satu per tiga masa tahanan apabila
merugikan keuangan dan perekonomian negara ( Pasal 702 ). Dan denda paling
sedikit kategori I (Pasal 80 ayat 3 huruf a dengan denda sebesar Rp.6.000.000 )
paling banyak kategori VI (Pasal 80 ayat 3 huruf f dengan denda sebesar
Rp. 12.000.000.00)
Meskipun kalau kita lihat, pemidanaannya ( penjatuhan
pidana) dimana hukuman yang diberikan tidak berat dan tidak setimpal dengan
perbuataan para pelaku korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Namun
didalam penjatuhan pidana seorang hakim mempunyai tindakan dan kebijaksanaan
dalam memutuskan perkara tentunya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
bagian – bagian yang berkaitan dengan perkara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi
bisa terjadi karena kurangnya kurangnya gaji pegawai negri.
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
3.2 Saran
Untuk mencegah terjadinya korupsi, Manusia harus diberi
pendiddikan tentang kejujuran sejak kecil. dan memberikan emikiran
"Takut" untuk melakukan tindakan yang menyimpang dan merugikan orang
lain.
Korupsi itu seperti jamur. terkadang yang memiliki jiwa
korupsi hanya beberapa orang sja. namun karena mereka bekerja sebagai kelompok
terkadang pegawai yang bersih dipaksa untuk meelakukan tindakan korupsi. Jika
tidak maka pegawai tersebut akan dimusuhi atau bahkan disingkirkan.
Jangan takut untuk mengadukan tindakan korupsi yang
terjadi disekitar kita. Karena korupsi akan terus ada jika tidak ada yang
memulai untuk menghentikannya. Jika anda terpaksa tutup mulut dengan tindakan
korupsi disekitar anda, maka katakan tidak untuk mengikuti perbuatan tercela
tersebut. Semoga Allah melindungi orang orang yang jujur.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung Hermansyah. 2015. Hukuman Korupsi Didalam RKUHP.
hukumpedia.com Diakses pada 5 Agustus 2017
wikipedia.org
Istavita Utama. 2017. Pengertian Korupsi dan
penyebabnya terjadinya. http://underpapers.blogspot.com. Diakses pada: Jumat, 1 Juni 2018
Download Makalah Pengertian Korupsi dan Penyebabnya Terjadinya